Suku Toraja adalah
suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.
Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di
antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan
Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara
sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To
Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari
Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti
"orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda
menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual
pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang
dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom.
Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal
tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah
semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja
menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang
pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun
1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan
tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan
mengandalkan sektor pariwisata.
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai
diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum
penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah
dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai
kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara
desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai
praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari
bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali
digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran
tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki
hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan
suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada
dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran
tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan
identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak
itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi
pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar
(pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi.
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin,
terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja.
Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia.
Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya
pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan
perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi
tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki
sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir
terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku
Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai
target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran
agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.
Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan
pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut
Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang
mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja
status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada
tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat
dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan budak yang menguntungkan
Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa
oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang
tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun
demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya
sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10%
orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun
1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda
berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar
dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang
beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia,
Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan
Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi.
Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan
semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh
penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui:
Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja
(aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret
tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai
bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma)
yang terus meningkat.
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku
Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama
yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa.
Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek
umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan
dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan,
untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal
balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian,
berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.
Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk
tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan,
dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi,
paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten
Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam
situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah
mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang,
beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga
diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan),
secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual.
Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar
keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial:
siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan
persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang
harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan
untuk masing-masing orang.
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian
dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang
biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia
Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk
menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini bertujuan untuk meningkatkan status
pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat
jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,
tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih
sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang
dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi
siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga
untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan
perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan,
ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti
pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah
kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik
keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan
membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan
perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi
anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai
perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau
berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut
yaitu hukuman mati.
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan
animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang
diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang
Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh
suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam
semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi),
dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan
kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah
yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh
empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas,
ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong
Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong
Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus
dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut
to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi
juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan
bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa
berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah
peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja
percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya
digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika
ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan
menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual
kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini,
tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas
tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata
"tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual
yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual
suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena
Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita
rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika
leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar
upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar.
Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi,
yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan
adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan
tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya
rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di
Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun
tongkonan yang besar.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem
tulisan. Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat
ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena
itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah
hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti
gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan.
Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel
persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan
agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul
dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup
dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak
bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan
untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di
permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu
untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran
kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga
abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja,
karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja
dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur
matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan
taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen
geometris.
pa'tedong(kerbau) pa'barre allo(matahari) pa're'po sanguba ne'limbongan
(menari) (perancang legendaris)
pemakaman merupakan ritual
yang paling dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang,
maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta
pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut
rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai
tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai
perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik
suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka
cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk
pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan
cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian
bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses
yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan
itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah
tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau.
Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih.
Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk
kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam
"masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau
untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada
banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak
upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap
darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan
kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada
keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam
gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya
kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal
dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu
digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang
disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati
bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut
biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan
dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan
untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai
komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian
prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa
hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar
dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian
Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju
rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa
melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu.
Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan
kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak
lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut
Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi
dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari
Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan
ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian perang, misalnya
tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian
Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja
menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali.
Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala
kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja,
dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi
bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' ,
Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa
Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana
Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri.
Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja
menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang
diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari
keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang
duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa
mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam
beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk
menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu
katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari
peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
4 Makanan Khas Tana Toraja:
1.) PA'PIONG
Makanan ini biasanya terbuat dari daging babi, ayam, ikan dan
beras cara masanya tinggal masukkan daging yang telah dibumbui kedalam bambu
kemudian dibakar.
2.) DEPPA TORI'
Makanan ini merupakan kue khas Tana Toraja selain bentuknya
yang unik rasanya juga gurih.
3.) TOLLO PAMMASARAN
Pamerasan, bumbu khas yang sering digunakan oleh orang Toraja
untuk masakan mereka. Pamerasan sendiri merupakan nama pohon, yang buahnya
dikumpulkan, lalu diambil bijinya dan dikeringkan.
Setelah benar-benar kering, biji-biji tersebut akan berubah
menjadi warna hitam pekat, lalu ditumbuk untuk kemudian digunakan untuk
memasak.
Bukan hanya daging kerbau saja yang dapat dimasak dengan
pamerasan ini, ada juga daging ayam, babi, maupun ikan.
4.) KOPI TORAJA
Penggemar kopi tentulah mengenal kopi Toraja. Kopi terkenal
yang dihasilkan Tana Toraja di di Sulawesi.
Kopi berjenis Arabika ini tumbuh di ketinggian dataran tinggi Sulawesi
ini, menurut pecinta kopi dideskripsikan memiliki rasa yang berbobot dengan
aroma tanah dan hutan. Sulit juga mengartikan ‘earthy’ ini, kalau dibilang
rasanya mirip tanah, tentu tidak. Lalu
siapa pula yang pernah mencicipi hutan? Menurut pengertian saya, mungkin karena
rasa kopi Toraja ini alami, mengingatkan pada alam yang hangat penuh dedaunan
dan pepohonan, dengan rasa yang kuat yang mengingatkan pada tanah yang coklat
basah sehabis hujan di sore hari.
Salah satu lagu daerah suku toraja adalah To Mepare yang liriknya adalah:
Kumentiro
rokko mellombokna
kumessaile
langngan mentanetena
Lendu'
masannang na tu penangku
untiroi
tu pare siririan
Tiroi
diong tu tau situru'-turu'
siba
bunu' sia panglembaranna
Lamale
umpeparei tu umanna
masannang
tongan tu penaanna
Reff:
Tiroi
tu pia to manglaa sambali
Sikallode',
Sisemba'
Ungkampai
soro'na to mepare
na
parokkoi tu panglaana
Perangngi
ri tu tomepare diong
sipella'tekan
si petaa-taan
marassan
ungkutui' peparena
masannang
tongan tu penan na
Pakaian adat pria Toraja dikenal dengan Seppa Tallung Buku,
berupa celana yang panjangnya sampai di lutut. Pakaian ini masih dilengkapi
dengan asesoris lain, seperti kandaure, lipa', gayang dan sebagainya. Baju adat
Toraja disebut Baju Pokko' untuk wanita. Baju Pokko' berupa baju dengan lengan
yang pendek. Warna kuning, merah, dan putih adalah warna yang paling sering
mendominasi pakaian adat Toraja. Baju adat Kandore yaitu baju adat Toraja yang
berhiaskan Manik-manik yang menjadi penghias dada, gelang, ikat kepala dan ikat
pinggang.
Nama pembuat : William Aris Saputra
Kelas / nomor absen : 7H / 36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar