Suku Betawi
Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Tionghoa.
Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta di mana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon, serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Pada penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu:
- Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
- Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
- Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
- Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Di mana semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi". Suku Betawi secara geografis terletak di pulau Jawa, namun secara sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam.
Batavia merupakan nama Latin untuk tanah Batavia pada zaman Romawi. Perkiraan kasarnya berada sekitar kota Nijmegen, Belanda, dalam Kekaisaran Romawi. Sisa lahan ini kini dikenal sebagai Betuwe. Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk mempromosikan Batavia menjadi sebuah status "nenek moyang" dari orang-orang Belanda. Kemudian mereka mulai menyebut diri Orang-orang atau penduduk Batavia, kemudian hal tersebut mengakibatkan munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk koloni mereka seperti Hindia Belanda, di mana mereka mengganti nama menjadi dari Kota Jayakarta menjadi Batavia dari 1619 sampai sekitar 1942, ketika namanya diubah menjadi Djakarta (ini adalah kependekan dari nama mantan Jayakarta, kemudian diubah kembali ejaannya menjadi Jakarta). Nama itu (Batavia) juga digunakan di Suriname, di mana mereka mendirikan Batavia, Suriname, dan di Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kota dan kota Batavia, New York. Nama ini menyebar lebih jauh ke barat di Amerika Serikat untuk tempat-tempat seperti Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.
SEJARAH
Periode Sebelum Masehi
Sejarah Betawi diawali pada masa zaman batu yang
menurut Sejarawan Sagiman MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Sementara Yahya
Andi Saputra (Alumni Fakultas Sejarah UI), berpendapat bahwa penduduk asli
Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa
merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka
sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai
suku bangsa sendiri-sendiri.
·
Pertama, munculnya
kerajaan-kerajaan pada zaman sejarah.
·
Kedua,
kedatangan dan pengaruh penduduk dari luar Nusa Jawa.
·
Terakhir,
perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing.
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di
antara penduduk juga mengenal huruf hanacaraka (abjad bahasa Jawa dan Sunda).
Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman
dahulu.
Periode Setelah Masehi
Periode Awal
Abad ke-2
Pada abad ke-2, Menurtut Yahya Andi Saputra Jakarta
dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang
terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat
kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan Cina telah maju.
Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.
Abad ke-5
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu
Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap
Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota
kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli
Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di
tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai
Bekasi. Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi,
yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan
Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja
Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi
kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal
persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani
Betawi membuat orang -orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini
diberi baju dan bertopi, yang hingga kini ma sih dapat kita saksikan di
sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil mengge
rak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira.
Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut
mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Pendu duk mengarak barongan yang
dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel
pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen
laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya
mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak
kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan
Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya
berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan pemukiman di
pesisir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi
sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk
asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah
pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gu nung
Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga
dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga.
Dalam keluarga Betawi ayah disebut baba. Tetapi ada juga yang menyebutnya babe,
mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadra maut. Ibu disebut mak.
Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut umi atau enya' dari kata nyonya.
Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.
Abad ke-10
Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan
antara orang Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain
adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina
ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian
tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk
dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri.
Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.
Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra
di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa
bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan
migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah
terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya –
karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa
Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di
Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu
orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup
sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu),
bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta
mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan
bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.
Periode Kolonialisasi Eropa
Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran)
dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk
membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran
antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran
Portugis. Dari komunitas ini lahir musik Keroncong atau dikenal sebagai
Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya,
Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan
membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari
penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.Itulah
penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi
kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru
Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh
suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang
banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta
juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke
Batavia, Kampung Melayu, Kampung
Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di
daerah kampung Bugisyang
dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat
beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Abad ke-20
Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell
University, Amerika, Lance Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal
usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of
Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad
19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi
budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi
menurut Castles dapat ditelusuri dari:
1. Daghregister, yaitu catatan harian
tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
2. Catatan Thomas Stanford Raffles
dalam History of Java pada tahun 1815.
3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia
van Nederlandsch Indie tahun 1893
4. Sensus penduduk yang dibuat
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan
itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan
gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad
20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan
situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang
tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang dilakukan Lance
Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan kepada skesta
sejarah yang baru ditulis tahun 1673.
Mengikuti kajian Lance Castles antropolog Universitas
Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. memperkirakan etnis Betawi baru
terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang
dirintis sejarawan Australia, Lance Castle.
Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat
berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta
tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil
sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang
sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Melayu, orang Bali, Jawa,
Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda. Kemungkinan kesemua suku bangsa
Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (bahasa Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap
ke dalam kelompok etnis Betawi.
Sepuluh tahun setelah pengumuman hasil penelitian
Lance Castles yakni pada tahun 1977 arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan
monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga
Kerajaan Pajajaran (1977)". Uka memang tidak menyebut monografinya untuk
menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti
yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa
sebelum Tarumanagara pada abad 5.
Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum
atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya di
mana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali
Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat
manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain
Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi,
Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar
Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar
Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi
menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu,
seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai
gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal
pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin
telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.
Suku Betawi
Pada zaman kolonial
Belanda tahun 1930, kategori orang
Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru
dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan
menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Namun menurut Uka
Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum
masehi.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi
Suparlan menyatakan,
kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga
belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran,
orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap
adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan
politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia
Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin,
tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu
pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni
golongan orang Betawi.
Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa
waktu yang lalu penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat tinggal
mereka, seperti orang Kwintang; orang Kemayoran; orang Tanahabang dan
seterusnya. Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan
kebetawian di Jakarta telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi.
Orang yang dulu menyebut kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya
sebagai orang Betawi.
Ada juga yang
berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam
benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar
benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar
benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand
Selatan yang kemudian
dijadikan sebagai bahasa
Indonesia.
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir abad yang
lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh
Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai
minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi
mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada
waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan
tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di
Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah
salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
SENI DAN KEBUDAYAAN
Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau
Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang
ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad
ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya
antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal
dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah bekas
kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta)
merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara,
Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu
Surawisesa di mana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan
dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir
Keroncong Tugu.
Suku-suku yang
mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak,
dan Bugis.
Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya
luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai
penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar
dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten.
Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun
budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Bahasa
Sifat campur-aduk dalam bahasa Betawi atau
Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan
Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari asimilasi kebudayaan, baik yang
berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang
berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa"
(sekarang Jakarta)
juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah,
Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan
ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran
kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah
sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu,
bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami
wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di
Sumatera dan Kalimantan
Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang
dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap
abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah
perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai
Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai
bahasa nasional.
Karena perbedaan
bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah lainnya
tersebut maka pada awal abad ke-20,
Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang
berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi.
Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap
dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran,
Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah
menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai
dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga
Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan
Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal
yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa
Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah
Bahasa Indonesia dialek Betawi.
Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan
dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é"
sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau
tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari
tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar
Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga
batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai
dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat
hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi
tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka
memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh
penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas
adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas
menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras
mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Dalam bidang kesenian,
misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang
Kromong yang berasal
dari seni musik Tionghoa,
tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab,
orkes Samrahberasal
dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,
dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang
Kromong,Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
Tari
Seni tari di Jakarta
merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya.
Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek, tari silat dan
lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan
Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama
juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama
Drama tradisional
Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon
tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi,
dengan diselingi lagu, pantun,
lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi
langsung dengan penonton.
Cerita
rakyat
Cerita rakyat yang
berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung,
juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan
jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal
"keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan,
juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman
kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan
Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Senjata
tradisional
Senjata khas Jakarta
adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu.
Rumah
tradisional
Rumah tradisional/adat
Betawi adalah rumah kebaya
KEPERCAYAAN
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
PROFESI
Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena salah satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
PERILAKU DAN SIFAT
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012) .
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca: Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
TOKOH-TOKOH BETAWI
- Alika - penyanyi, anggota girlband Princess
- Alya Rohali - artis, mantan Putri Indonesia
- Benyamin Sueb - seniman
- Bokir - seniman lenong
- Deddy Mizwar - aktor, sutradara, tokoh perfilman
- Fauzi Bowo - Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012)
- Firman Muntaco - sastrawan
- Hassan Wirajuda - mantan menteri luar negeri
- Ismail Marzuki - pahlawan nasional, seniman
- Dewi Rezer - artis
- Mandra - artis
- Mastur - artis
- Mat Solar - artis
- Dewi Sandra - artis, penyanyi
- Muhammad Husni Thamrin - pahlawan nasional
- Nasir - seniman lenong
- Nawi Ismail - sutradara, tokoh perfilman
- Noer Alie - pahlawan nasional, ulama
- Omaswati - artis
- Ridwan Saidi - budayawan, politisi
- SM Ardan - sastrawan
- Asmirandah - aktris, penyanyi
- Surya Saputra - aktor, penyanyi
- Suryadharma Ali - Menteri Agama
- Tuty Alawiyah - mubalighat, tokoh pendidik, mantan menteri
- Ussy Sulistyowati - artis
- Zainuddin MZ - ulama
Michael Jonathan Halim
7H/28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar