Jumlah populasi : ±6,9
juta (2010)
|
Kelompok etnik terdekat
|
Suku Dayak
adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni
pedalaman yang
mendiami Pulau Kalimantan ,Brunei, Malaysia yang
terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta
Indonesia yang
terdiri dari Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan
Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli
Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung .Menurut
sensus Badan
Pusat Statistik Republik
Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang
terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak
Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non
Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari.
Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama
rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang
Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias
Kalimantan, rumpun
Iban, rumpun Apokayan yaitu
Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun
Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.
Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di
pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan :
- "Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau termasuk satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Paser.
- "Dayak Darat" (13 bahasa)
- "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Tidung.
- "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
- "Melayik" dituturkan: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan Saq Senganan), Dayak Keninjal, Dayak Bamayoh (Malayic Dayak), Dayak Kendayan (Kanayatn). Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan rumpun ini sebagai suku-suku yang berdiri sendiri yaitu Suku Banjar, Suku Kutai, Suku Berau, Suku Sambas, dan Suku Kedayan.
Etimologi
Masyarakat Dayak Barito beragama Islam yang dikenali
sebagai suku Bakumpai di sungai Barito tempo dulu.
Istilah "Dayak" paling umum
digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal
di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada
suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun
beberapa di antaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat
beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak
berasal dari kata daya dari bahasa
Kenyah,
yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King,
lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja,
sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin
bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang
berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas
dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di
Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah orang Daya
(orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun
Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut
(rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian
Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah
Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang
masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda
hanya kedua daerah inilah yang kemudian secara administratif disebut Tanah Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga
ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah
“Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk
asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau
non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak
dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih
kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan.
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang
ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama
kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa
diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian
pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa
kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat
adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al.
melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti
manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka
juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk
pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan,
yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa
setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur,
yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli
itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi
orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
Asal mula
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan
Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan
adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal
bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu,
sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok
yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke
timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni
pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan 70.000 tahun lalu, waktu permukaan laut
120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa
daratan (para geolog menyebut daratan ini
"Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan
dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari
daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai
besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka
harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami
pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku Dayak
Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak
pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu
sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada
saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan
dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan
tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai
atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama
Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang
Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah
seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).Di Kalimantan Timur, orang Suku
Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai
Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan.
Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke
Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah
Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa
kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang
Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan
Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar
memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa
dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa
Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu
tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan
Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki
pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan
Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak.
Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti
piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak hanya itu, sebagian
dari mereka juga ada bangsa Eropa.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah
sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke
selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407,
setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750,
Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari
emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan di antaranya
candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.
Kerajaan Kutai Kartanegara yang berada di Kalimantan Timur dulunya adalah
kerajaan Suku Dayak.
Pembagian sub-sub etnis
Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang,
Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke
pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub
etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub
suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975).
Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan
budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan
adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini
disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di
tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang
antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat
Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang
menyebar di seluruh Kalimantan.
Dayak pada masa kini
Tradisi suku Dayak Kanayatn.
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam
enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot
Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak
Punan
merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara
rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan
kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun
itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam
ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang
khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di
Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri
tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan
terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.
Perkampungan Dayak rumpun Ot
Danum-Ngaju
biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering
disebut banua/benua/binua/benuo. Di
kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin
seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung
Mangkurat,
(orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi
hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan
menjadi :
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah
seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak lagi
dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang
membuat adanya kelompok manusia.
Tradisi Penguburan
Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan
Dayak Benuaq di Kutai. Peti yang
dimaksud adalah Selokng (ditempatkan di Garai).
Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya
(terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat
tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian
pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam
sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya
penguburan di Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
- wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
- wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
- lubekng (tempat lungun)
- garai (tempat lungun, selokng)
- gur (lungun)
- tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
- Parepm Api (Dayak Benuaq)
- Kenyauw (Dayak Benuaq)
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di
gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak
dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan
terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di
atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara
penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- Marabia
- Mambatur (Dayak Maanyan)
- Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)
Agama
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh
Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya pembakaran
tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak
mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat
Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan
terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan
sebagai agama Balian.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini
kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai
memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan
memasuki era sejarah yang ditandai dengan
ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.
Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan
peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota
Bangun, Kutai Kartanegara) dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan
munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India
yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan.
Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran
agama Islam di Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad
ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang
menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul
hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh
sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan,
budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman
tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan.
Sebagian besar masyarakat Dayak yang
sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih
mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke
dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama
Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini
mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi
Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan
etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh
para Biksu di kalangan masyarakat
Dayak misalnya terdapat pada masyarakat suku Dayak Dusun Balangan yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan.
Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim
sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk
Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi
lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam namun tetap
menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak
yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di
pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada
hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-Senganan, Kedayan,
Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh
agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan.
Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan
disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan
Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak
terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir
semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari
awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke
Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena
pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi
pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang)
maupun ke Majapahit.Banyak penjabat Dinasti
Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan
bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa
Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat
khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di
saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan
penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14
dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa.
Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada
dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur
(Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing
terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena
takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang
hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC
Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan
Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun
1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan
Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara
leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan
negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan
mulai menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah
lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.
Konflik
Keterlibatan
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli
Kalimantan) telah mengalami peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997
dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara
orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak
dari konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun
kemudian menjadi topik pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang
konflik tahun 1997, sejumlah besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas.
Muncul berbagai perkiraan resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300
hingga 4.000 orang menurut sumber-sumber independen.Pada tahun 1999,
orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok Melayu dan Cina memerangi para pendatang Madura; 114 orang tewas. Menurut seorang tokoh
masyarakat Dayak, konflik yang terjadi belakangan itu pada awalnya bukan antara
orang-orang Dayak dan Madura, melainkan antara orang-orang Melayu dan Madura.
Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat,
tetapi media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak. Sebagian karena
orang-orang Melayu yang terlibat menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat
kerusuhan terjadi.
Lagu
khas Dayak:
Lirik Lagu Isen Mulang
Mamut
menteng ureh utusku
Isen mulang jete penyangku
Gatang yoh gatang sewut sarita
Tandak en ta tu te
Isen mulang jete penyangku
Gatang yoh gatang sewut sarita
Tandak en ta tu te
Oh pahari kawan balinga
Mina amma bakas tabela
Tanjung miar himbing lenge
Miar tuh itah handiai
Mina amma bakas tabela
Tanjung miar himbing lenge
Miar tuh itah handiai
Lahap tuh lahap wei
Ayo lahap lahap miar majuwei
Lahap tuh lahap weiIsen Mulang yo akan Penyangku
Ayo lahap lahap miar majuwei
Lahap tuh lahap weiIsen Mulang yo akan Penyangku
Link lagu : http://www.mp3tunes.tk/download?v=0V43QVvF8xo
Makanan
Khas suku Dayak
1.
Juhu Singkah / Umbut
Rotan
Umbut Rotan (rotan muda)
adalah salah satu makanan khas yang dimiliki oleh Suku Dayak, terutama dari
Kalimantan Tengah. Dalam bahasa Dayak Maanyan, umbut rotan dikenal dengan uwut
nang'e. Sedangkan dalam bahasa Dayak Ngaju dikenal dengan juhu
singkah. Umbut rotan ini dikenal masyarakat dayak karena mudah
diperoleh didalam hutan tanpa perlu menanamnya terlebih dahulu. Cara
pengolahannya yaitu pertama rotan muda dibersihkan kemudian kulitnya dibuang
dan dipotong dalam ukuran kecil. Umbut rotan seringkali dimasak bersama dengan
ikan baung dan terong asam. Umbut Rotan memiliki rasa gurih, asam, dan
kepahit-pahitan yang bercampur dengan rasa manis dari daging ikan sehingga
membuat umbut rotan memiliki citarasa tersendiri.
2.Kalumpe / Karuang
Kalumpe / karuang adalah sayuran yang
dibuat dari daun singkong yang ditumbuk halus. Kalumpe merupakan bahasa
Dayak Maanyan dan karuang sebutan sayur ini dalam bahasa Dayak Ngaju.
Dalam pembuatannya, biasanya daun singkong ditumbuk halus dan dicampur dengan
terong kecil atau terong pipit. bumbu untuk masakan ini adalah bawang merah,
bawang putih, serai dan lengkuas yang dihaluskan. Apabila ingin bisa
ditambahkan cabe. Kalumpe terasa sangat enak apabila sedang
panas. Masakan ini biasa disajikan bersama dengan sambal terasi yang pedas dan
ikan asin.
3. Wadi
Wadi adalah makanan
berbahan dasar ikan atau menggunakan daging babi. Wadi bisa dibilang adalah
makanan yang "dibusukan". Namun pembusukan ini tidak dibiarkan begitu
saja, sebelum disimpan, ikan atau daging akan dilmuri dengan bumbu yang terbuat
dari beras ketan putih atau bisa juga biji jagung yang di-sangrai sampai
kecoklatan kemudian di tumbuk manual atau di blender. Dalam bahasa Dayak
Maanyan bumbu ini disebut dengan Sa'mu dan dalam bahasa Dayak
Ngaju disebut dengan Kenta. Pembuatannya yaitu ikan atau daging
yang hendak diolah dibersihkan terlebih dahulu, kemudian direndam selama 5-10
jam dalam air garam. Kemudian daging atau ikan diangkat dan dibiarkan
mengering. Setelah cukup kering ikan atau daging dicampur dengan Sa'mu
sampai merata. Kemudian daging disimpan dalam kotak kaca, stoples, atau
plastik kedap udara yang ditutup rapat-rapat. Simpan kurang lebih selama 3-5
hari. Untuk daging disarankan simpan lebih dari 1 minggu. Setelah selesai, wadi
tidak bisa langsung dimakan tapi harus diolah kembali antara lain dengan cara
digoreng atau dimasak. Walau pembuatannya terlihat mudah, tetapi apabila
terjadi kesalahan sedikit saja dalam memasukan bumbu serta perendaman maka akan
membuat wadi menjadi tidak enak bahkan tidak bisa dimakan. Oleh karena itu ada
orang-orang tertentu yang memilki keahlian untuk membuat wadi yang enak.
3.
Bangamat / Paing
Bangamat dalam bahasa Dayak Ngaju atau paing
dalam bahasa Dayak Maanyan adalah masakan khas yang dibuat dari kelelawar besar
/ kalong (Pteropus vampyrus). Untuk konsumsi, kelelawar dengan
jenis pemakan buah terbesar. Untuk kelelawar jenis pemakan serangga dan
penghisap darah tidak digunakan dan tidak dikonsumsi untuk membuat makanan ini.
Walaupun paing dikenal dan dikonsumsi di beberapa daerah, tetapi orang Dayak
mempunyai ciri khas dalam pembuatannya. Paing yang akan dimasak dibersihkan
dengan membuang kuku, bulu kasar ditekuk dan punggung, serta ususnya. Sementara
sayap, bulu dan dagingnya dimasak. Untuk orang Dayak Ngaju paing dimasak dengan
bumbu yang lebih banyak. Sedangkan untuk Dayak Maanyan, paing dimasak dengan
bumbu yaitu serai dan daun pikauk (daun yang memiliki rasa asam). Paing
sering dimasak bersama sayur hati batang pisang yang dipotong-potong, biasanya
adalah pisang kipas. Serta juga bisa dimasak bersama dengan sulur keladi yang
dipotong-potong.
Mandau
Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari
kebudayaan Dayak di Kalimantan. Mandau termasuk
salah satu senjata tradisional Indonesia.
Berbeda dengan arang, mandau memiliki ukiran - ukiran di bagian
bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di
bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah
bilah mandau.
Mandau berasal dari asal
kata "Man" salah satu suku di china bagian selatan dan
"dao" yang berarti golok dalam bahasa china.
Suku Dayak dengan
senjata Mandaunya terkenal kejam dan ahli dalam peperangan, kelompok klan
mereka melawan bangsa-bangsa lain yang datang ke pulau kalimantan, termasuk
bangsa Melayu dan Bangsa Austronesia, karena seringnya peperangan antar klan
dan bangsa-bangsa yang datang ke pulau kalimantan, Pedang mandau menjadi
terkenal dengan bilah senjatanya yang tajam dan digunakan untuk memenggal
kepala musuh-musuhnya (adat Pengayauan suku Dayak) hingga para bangsa lainnya
tidak berani memasuki daerah mereka. Hingga sampai dengan sekarang Mandau
menjadi sebutan nama sebuah senjata adat asli Pulau Kalimantan.
Michelle Aprilia 29/7H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar