Rabu, 24 Februari 2016

Suku Dayak | Suku di Indonesia

Suku Dayak adalah suku yang diberi nama oleh penduduk pesisir Borneo untuk penghuni pedalaman. Berdasarkan sensus 2010, Suku-suku yang berada di Kalimantan adalah suku Dayak, suku Banjar, dan suku asal Kalimantan lainnya. Orang Dayak dibagi menjadi 7 rumpun yaitu:
  •  Rumpun Klemantan/Barito
  •  Rumpun Iban
  •  Rumpun Apokayan
  •  Rumpun Murut/Bidayuh
  •  Rumpun Ot Danum-Ngaju
  •  Rumpun Punan
Suku Dayak juga memiliki 5 bahasa yaitu:
  • Barito Raya
  • Sulawesi Utara
  • Borneo Utara
  • Melayik
  • Dayak Darat
Istilah "Dayak" digunakan untuk menyebut orang asli non-Muslim dan non-Melayu. Tetapi, beberapa orang Dayak
beragama Muslim dimasukan ke dalam Suku Banjar dan Suku Kutai. Menurut Lindblad, kata "Dayak" berasal dari kata "daya" dari bahasa Kenyah yang berarti hulu sungai atau pedalaman, sedangkan King lebih jauh menduga-duga bahwa kata "Dayak" berasal dari kata "aja", sebuah kata Melayu yang berarti asli atau pribumi.
Istilah untuk orang yang tinggal di dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (orang daya = orang darat), sedangkan Istilah yang berasal dari orang Banjarmasin adalah Biaju (bi = dari ; aju = hulu). Maka semua istilah orang "daya" ditujukan kepada rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut yang ditujukan untuk rumpun Iban. Di Banjarmasin, istilah Biaju mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda pada tahun 1826, untuk mengganti istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju kecil (daerah Kapuas Murung) yang masing-masing dinamakan Dayak Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang secara adminstratif disebut Tanah Dayak. Sejak itulah dinamakan rumpun Barito dan rumpun Ot Danum-Ngaju.
Arti dari kata "Dayak" masih diperdebatkan. Commans (1987) menulis bahwa menurut beberapa pengarang, "Dayak" berarti manusia, sedangkan beberapa pengarang lainnya menyatakan bahwa kata "Dayak" adalah pedalaman. Commans berkata bahwa suku Dayak adalah suku yang bertempatkan hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir Et Al, melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak berarti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Menuaq megartikan Dayak sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa orang-orang Kalimantan berkarakteristik gagah, kuat, dan ulet dalam setiap pekerjaannya
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bangsa Austronesia. Saat ini teori dominan yang adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bangsa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4000 tahun yang lalu, bangsa Austronesia berpindah ke Filipina, dan 500 tahun selanjutnya, bangsa Austronesia berpindah ke selatan menuju Indonesia dan timur ke Pasifik. Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama orang Borneo. Antara 60.000 tahun s/d 70.000 tahun yang lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan. Manusia sempat berpindah dari benua Asia ke Selatan dan sempat ke benua Australia karena saat itu Australia tidak terlalu jauh dari benua Asia.
Suku Dayak pernah mempunyai kerajaan Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan yang dihancurkan Majapahit. yang diperkirakan 1309-1389. Kejadian tersebut mempengaruhi terpencarnya suku Dayak Maanyan. Lalu, sebagian masuk ke daerah pedalaman wilayah suku Dayak Lawangan.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
  • penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
  • penguburan di dalam peti batu (dolmen)
  • penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
  1. wadah (peti) mayat--> bukan peti mati :lungun, selokng dan kotak
  2. wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kerereng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
  1. lubekng (tempat lungun)
  2. garai (tempat lungun, selokng)
  3. gur (lungun)
  4. tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
  1. penguburan tahap pertama (primer)
  2. penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
  1. Parem Api(Dayak Benuaq)
  2. Kenyauw(Dayak Benuaq)
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
  • dikubur dalam tanah
  • diletakkan di pohon besar
  • dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
  1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
  2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
  3. Marabia
  4. Mambatur (Dayak Maanyan)
  5. Kwangkai/Wara (DayakBenuaq)
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.
Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat suku Dayak Dusun Balangan yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa keMaynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit. Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab. Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.

Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
  1. Sipet / Sumpitan.Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
  2. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
  3. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
  4. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.


Suku Dayak memiliki kesenian diantaranya lagu-lagu daerah seperti 


Suku Dayak Kenyah Kalimantan Timur memiliki busana tradisional yang disebut sapei sapaq untuk kaum laki-laki dan ta'a untuk kaum perempuan, pakaian ta a terdiri dari semacam ikat kepala yang disebut da a yang dibuat dari pandan, umumnya yang menggunakan da a ini adalah para orang tua, baju atasannya disebut dengan nama sapei inoq serta bawahan dari busana tersebut berupa rok yang dikenal dengan nama ta a. Busana sapei sapaq untuk laki-laki tidak jauh berbeda coraknya dengan busana ta a, perbedaannya hanya pada pakaian atas saja yang dibuat berbentuk rompi ditambah dengan paduan busana bawahan berupa cawat yang diberi nama abet kaboq yaitu semacam celana pendek ketat, sedangkan untuk aksesoris pakaian ditambahkan dengan mandau yang diikat di pinggang. Corak dari busana ini beragam ada yang bergambar burung enggang, harimau ataupun tumbuh-tumbuhan dimana jika dipakaian adat itu ada gambar enggang atau harimau berarti yang memakainya keturunan bangsawan. Kalau hanya motif tumbuhan saja berarti orang biasa saja.
Suku Dayak Ngaju merupakan sebutan bagi penduduk dayak yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah. Seperti Suku Dayak lainnya, Suku Dayak Ngaju ini juga memiliki busana tradisional yang dianggap sebagai simbol peradaban masyarakat di daerah tersebut. Untuk kaum pria Kelengkapan pakaian tradisional yang dikenakan adalah berupa rompi, kain penutup bagian bawah sebatas lutut, ikat kepala berhiaskan bulu-bulu enggang, kalung manik-manik dan ikat pinggang, serta tameng kayu beserta mandau dibagian pinggang. Sementara kelengkapan yang dikenakan oleh kaum wanita yaitu berupa baju rompi, kain (rok pendek), ikat atau penutup kepala yang dihiasi bulu-bulu enggang, kalung manik-manik, ikat pinggang serta gelang tangan. Bahan-bahan pembuatan busana tersebut menggunakan kulit kayu siren atau kayu nyamu dengan dibubuhi warna dan corak hias yang diilhami oleh keyakinan dan mitologi yang berkembang di masyarakat untuk mempercantik busana mereka. Selain dari kulit kayu suku Dayak Ngaju juga membuat busana dari serat alam yang disebut dengan busana adat kain tenun halus.'
Busana Suku Kutai disebut dengan nama Kustin. Pakaian ini hanya dipakai oleh suku Kutai dari golongan menengah ke atas dimana digunakan untuk upacara pernikahan pada jaman kerajaan Kutai Kartanegara. Istilah Kustin sendiri berasal dari kata kostum yang berarti pakaian kebesaran suku Kutai. Pakaian Adat Kutai ini terbuat dari bahan beludru berwarna hitam, memiliki lengan yang panjang dan berkerah tinggi dengan ujung lengan, kerah serta bagian dada berhias pasmen. Untuk kaum pria pakaian ini dipadukan dengan celana panjang yang dibagian luarnya dipasang dodot rambu dan tutup kepala bundar yang dinamakan setorongberhiaskan lambang yang berwujud wapen. sedangkan untuk dikenakan oleh kaum wanita ada tambahan berupa sanggul yang hampir sama dengan sanggul aksesoris Jawa, serta dibagian puncak belakang ditambahkan kelibun berwarna kuning yang terbuat dari bahan sutera.
Selain busana adat diatas, ada beberapa busana adat Dayak yang belum sering terekspos yaitu Bulang kuurung dan Bulang Burai king. Bulan kuurung terbagi-bagi menjadi pakaian tanpa lengan, dokot tangan (pakaian dengan lengan pendek) serta lengke (baju dengan lengan panjang). Biasanya pakaian seperti ini digunakan oleh para dukun. Sedangkan untuk Bulung Burai King adalah jenis busana adat Dayak yang paling terkenal, biasanya digunakan pada saat upacara adat. Ciri dari busana ini adalah dihiasi dengan manik-manik dan bulu burung yang dibentuk rapi sehingga membuatnya terlihat rapi, indah dan menarik.



Nama Pembuat : Gabriel Owen

Kelas/No.Absen : 7H/14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar